Oleh. Ahmad Rizal Fawa’id, S.H., M.H. (Pengacara Publik RBH YAFTA)
UNDANG-UNDANG No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, mengatur beberapa mekanisme pengawasan, diantaranya pengawasan melalui pengujian review (executive review), namun masih terbatas pada peraturan daerah yang berkaitan dengan RPJPD, pajak dan retribusi daerah, APBD dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kontrol norma hukum (control normative) pada prinsipnya dilakukan untuk mengontrol norma hukum yang telah disahkan dan ditetapkan menjadi norma hukum tetap yang memiliki kekuatan mengikat untuk umum (general and abstract norm). Namun mekanisme “executive review” yang berujung pada pembatalan (vernietiging) atau penangguhan terhadap produk hukum daerah, menjadi tidak tepat, kaena produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah merupakan produk legislatif daerah sebagai representasi dari masyarakat daerah.
Berdasarkan pemahaman mekanisme executive review di atas, sangat tidak tepat untuk konteks pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan daerah yang berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan, terhadap produk hukum daerah berupa Perda yang sifatnya regeling yang telah ditetapkan dan disahkan serta sudah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk umum, kemudian dibatalkan oleh Pemerintah melalui Mendagri dengan menggunakan Keputusan Menteri yang sifatnya beschikking karena bertentangan dengan peraturan perundangnundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan tanpa melibatkan peran lembaga peradilan (Mahkamah Agung) dapat dikatakan inkonstitusional. Peneliti berpendapat bahwa, kewenangan untuk menguji norma hukum yang menjadi materi muatan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang harus melalui mekanisme judicial review oleh Mahkamah Agung. Mekanisme judicial review sangat tepat untuk mengukur apakah produk hukum di bawah undang-undang bertentangan dengan undang-undang sebagai norma yang lebih tinggi atau tidak.
Di sisi lain mekanisme judicial review atau pengujian oleh pihak ketiga, yang tidak memiliki hubungan secara hirarki dengan lembaga pembentuk sehingga independensinya lebih terjamin. Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, ayat (1) menyatakan bahwa; “Perda dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.” Demikian juga Ayat (2) berbunyi; “Perda Kabupaten/Kota dan peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.” Ketentuan Pasal 251 ayat (1), (2), (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengisyaratkan bahwa pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat (executive review), dipandang inkonstitusional. Karena secara hierarki ketentuan Pasal 24A UUD 1945 (perubahan), yang menyatakan bahwa; “Mahkamah Agung berwenang memutuskan sangketa pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,” lebih tinggi derajatnya daripada UU No. 23 Tahun 2014, sehingga yang lebih utama dan lebih kuat secara hukum adalah Pasal 24A UUD 1945.
Selain berpotensi melanggar konstitusi, mekanisme pembatalan perda ini juga masih menyisakan problematika. Misalnya bagaimana mekanisme yang digunakan kementerian dalam negeri dalam mengkaji perda-perda yang diduga bermasalah itu, minimnya pengaturan tentang mekanisme tersebut sangat jelas tampak pada UU No. 23 Tahun 2014, sehingga memberikan kewenangan (diskresi) yang sangat luas bagi mendagri. Luasnya diskresi mendagri ini tidak diikuti dengan adanya mekanisme kontrol dengan tidak memperhatikan ketentuan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang perspektif UUD 1945, sehingga rentan terjadi penyalahgunaan wewenang karena bisa jadi Keputusan pembatalannya hanya mempertimbangkan unsur politik, bukan kepentingan masyarakat suatu daerah.
Suatu Perda yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi (kecuali UUD 1945) belum tentu salah, contohnya adalah pembatalan Perda Kab. Bantul No. 29 Tahun 2008 Tentang Irigasi, dan Perda No 11 Tahun 2013 Tentang Izin Pemakaian Air Tanah Dan Izin Penguasaan Air Tanah, karena keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, akibat hukumnya adalah bahwa Peraturan Daerh sebagai tindak lanjut dari UU No. 7 tahun 2004 menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam hal ini yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah UndangUndang No 7 Tahun 2004, yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur urusan sumberdaya air, kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga otomatis kembali pada Undang-Undang lama yaitu UU No 1 Tahun 1974 yang karakteristiknya adalah sentralistik, sehingga muncul pertanyaan apakah ini akan dibawa kembali pada kebijakan yang sentralistik, artinya daerah kemudian tidak diberikan kewenangan untuk mengatur sendiri urusannya sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 18.
Pasca reformasi, control normative terhadap produk hukum di bawah undang-undang menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung. Sehingga seharusanya UU No. 23 Tahun 2014 yang merupakan dirivasi Pasal 18 UUD 1945 seyogyanya juga memperhatikan ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang adalah kewenangan dari Mahkamah Agung. Dapat dikatakan juga sebagai upaya pencegahan agar segala aspek penyelenggaraan daerah dapat yang diawasi oleh Pemerintah Pusat agar tidak terjebak pada praktik otoritarian Pemerintahan Daerah yang akan mengacam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengawasan melalui mekanisme executive review (represif) yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014, sama sekali tidak melibatkan Mahkamah Agung sebagai lembaga konstitusional yang mengawasi norma hukum (control normative) peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pemerintahan Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) hanya diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan kepada Presiden (Pemerintahan Provinsi) dan kepada Menteri (pemerintahan kabupaten/kota) atas pembatalan produk hukum daerah. Permohonan tersebut sifatnya administratif review, yang sama sekali tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemerintahan Daerah. Sehingga peneliti berpendapat bahwa pengawasan melalui mekanisme executive review, cacat konstitusional, hal ini di karenakan lembaga yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, bukan lembaga eksekutif melainkan lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan mengadili terhadap norma-norma hukum di bawah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24A UUD 1945.
Menjadi penting bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah adalah jenis pengawasan preventif terhadap Raperda seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 267-274 UU No. 23 Tahun 2014. Maka tidak dapat disangkal jika terdapat pendapat bahwa Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri dapat dikatakan sebagai kekeliruan hukum. Peraturan Daerah Kabupaten/kota yang masuk dalam bidang regeling yang pembatalannya dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, tetapi dibatalkan oleh Keputusan Menteri yang masuk dalam bidang beschikking. Dengan kata lain, secara yuridis Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah.
Melalui pengawasan preventif, Menteri atau gubernur dapat merekomendasikan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang bermasalah atau yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota untuk diganti atau diperbaiki, sebelum Menteri dan Gubernur mengesahkan terhadap produk hukum tersebut yang kemudian ditetapkan dan diundangkan oleh kepala daerah. Pengawasan preventif (preventif toezicht) juga sebagai upaya untuk mencegah agar produk produk hukum daerah yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah, tidak keluar dari tujuan nasional dan juga tidak bertentangan dengan produk hukum yang tingkatnya lebih tinggi. Pengawasan preventif merupakan bentuk pengawasan yang tepat dalam konteks pembinaan penyelenggaran otonomi daerah dan tugas pembantuan. Model pengawasan dengan cara mencegah serta mengevaluasi sebelum memberikan pengesahan terhadap peraturan kepala daerah merupakan sebuah langkah untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan serta menghindari kemungkinan terjadi pembatalan (vernietiging) terhadap produk hukum daerahdan lebih efisien serta menghemat waktu dan biaya. Amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, yang mengatur tentang pengawasan preventif, namun tidak semua produk hukum daerah dapat diawasi secara preventif/dievaluasi oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri dan gubernur. Mengevaluasi serta mengesahkan terhadap rancangan produk hukum daerah menyebabkan kecil kemungkinan bahwa produk hukum daerah tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pembatalan Peraturan Dearah oleh Kemendagri juga menjadi problematik jika ditinjau dari perspektif Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip negara hukum menghendaki adanya konsep pemisahan kekuasaan yang tersirat dalam UUD 1945 akan menjadi rancau, karena kewenangan menguji norma hukum peraturan perundang-undangan dibawah undag-undang adalah kewenangan Mahkamah Agung, maka berdasar prinsip tersebut Pemerintah Pusat hanya berwenang membatalkan produk hukum daerah melalui mekanisme executive preview, yang bertujuan mengevaluasi, memverifikasi, dan mengharmonisasi Raperda sebelum ditetapkan dan diundangkan penjadi produk hukum daerah yang sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat