Yogyakarta, 30 September 2022. Penyuluhan hukum kembali dilaksanakan oleh RBH Yayasan AFTA bekerjasama dengan Kanwil kemenkumham DIY. Ada yang berbeda dengan Penyuluhan hukum ini, jika Penyuluhan hukum sebelumnya di laksanakan di kantor lurah atau kantor desa, Penyuluhan hukum kali ini di laksanakan di Restoran, tepatnya Restoran Kampoeng Mataraman, yang merupakan salah satu BUMDes milik desa Panggungharjo, Kec. Sewon Kab. Bantul.
Pada Penyuluhan hukum kali ini membahas isu hangat seputar perkawinan yakni perkawinan beda agama, nikah sirri (nikah tidak tercatat), dan perkawinan campuran. Kegiatan tersebut hadiri oleh tokoh masyarakat, dukuh, LPM serta warga desa Panggungharjo.
Perkawinan beda agama sempat hangat diperbincangkan beberapa bulan yang disebabkan Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan Permohonan pasangan yang menikah beda agama. Penetapan itu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur angkat bicara terkait pernikahan beda agama yang disahkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya tersebut.
Padahal faktanya pernikahan beda bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 1986 Mahkamah Agung telah terlebih dahulu memberi izin pencatatan pernikahan beda agama. hal ini disampaikan oleh Zakaria, SH selaku narasumber
” sebenarnya, pernikahan beda agama telah banyak terjadi di Indonesia. Hal ini berawal ketika Mahkamah Agung memberi izin kepada pasangan yang beda agama untuk melangsungkan pernikahan dan mencatatkan nya di kantor catatan sipil. Hal ini tertuang dalam putusan MA No. 1400K/Pdt/1986. Putusan MA tersebut menjadi yurisprudensi terkait Permohonan nikah beda agama” tutur nya.
“UU No 1 tahun 1974 tidak mengatur mengenai pernikahan beda agama namun dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang adminduk memberi celah bagi pasangan beda agama yang ingin mencatatkan pernikahannya di kantor catatan sipil. Hal tersebut di atur dalam pasal 35 huruf a UU Adminduk” tambahnya
Undang undang mewajibkan setiap pernikahan untuk di catatkan guna medapat kepastian dan perlindungan hukum. Menikah hanya secara agama atau biasa di sebut masyarakat nikah sirri sangat riskan terjadi masalah seperti, hak istri dan anak atas nafkah dan warisan tidak terjamin, subtansi pernikahan dianggap tidak sah serta status hukum anak tidak terjamin.
Pemateri kedua membahas mengenai perkawinan campuran yang di sampaikan oleh Retno Mulyaningrum, SH., MH.
“Jika ada pasangan suami istri yang telah menikah di luar negeri atau mendapatkan jodoh orang luar negeri, meskipun mereka telah mencatatkan pernikahannya di luar negeri, mereka tetap wajib mencatatkan nya di Indonesia, karna ketika mereka kembali ke Indonesia mereka harus tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia” jelas Kabid penanganan perkara RBH AFTA tersebut.
Pada akhir sesi para pamateri memberi kesimpulan yaitu, UU Perkawinan di Indonesia tidak mengatur tentang pernikahan beda agama, perkawinan beda agama bisa dicatatkan jika telah mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri dan pernikahan wajib di catatkan untuk mendapat kepastian dan perlindungan secara hukum.