Pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Dalam UU TPKS, pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik (memegang organ sesksual secara paksa, memaksa melakukan kegiatan seksual baik diluar pernikahan maupun di dalam pernikahan) dan pelecehan seksual non fisik (Gerakan tubuh, omongan seksual dengan maksud merendahkan harkat dan martabat, contoh siulan, main mata ke organ tubuh seksual, omongan bernuansa seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh).
Setiap pekerja, baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan di tempat kerja, termasuk kekerasan seksual.
Dalam UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
1. keselamatan dan kesehatan kerja;
2. moral dan kesusilaan; dan
3. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Sedangkan menurut KUHP pelecehan seksual atau perbuatan cabul yang dilakukan di tempat kerja oleh atasan (pejabat), dapat dijerat dengan Pasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP yaitu diancam pidana penjara paling lama 7 tahun.
Ketentuan dalam Pasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP merupakan delik biasa (tindak pidana biasa) dan bukan delik aduan, maka yang berlaku adalah daluarsa penuntutan yaitu 12 tahun.
Oleh karena itu, karyawan yang pernah dilecehkan masih dapat melakukan penuntutan (dengan melaporkannya ke kepolisian) dalam jangka waktu 12 tahun sejak tindak pidana tersebut dilakukan.
Langkah Hukum Jika Terjadi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Apabila terjadi pelecehan seksual di tempat kerja, korban dapat melaporkan ke polisi berdasarkan KUHP dan UU TPKS. Akan tetapi, apabila korban takut melaporkan sendiri ke polisi, dapat juga dilaporkan oleh orang yang mengetahui dan menyaksikan kejadian tersebut ataupun oleh tenaga medis. Selain itu, tidak hanya ke polisi, namun pelecehan seksual dapat juga dilaporkan ke UPTD PPA, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat untuk diberikan pendampingan dan pelayanan terpadu yang dibutuhkan korban.
Perlu Anda ketahui bahwa korban kekerasan seksual pada dasarnya mempunyai hak atas penanganan, pelindungan dan pemulihan seperti penguatan psikologis, kerahasiaan identitas, rehabilitasi medis, mental dan sosial.
Selain itu, ketika melaporkan kasus ke polisi dan selama proses peradilan pidana, korban juga berhak atas pendampingan hukum oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, psikiater, advokat, paralegal dan lain-lain.
Perlu Anda ketahui bahwa korban kekerasan seksual berhak untuk mendapatkan restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel/immateriel yang diderita korban atau ahli warisnya.